Thursday, December 24, 2009

Sepenggal Sorga di Beranda

Hampir senja, ketika sampai di beranda
tertawan ku di pinggir teduhnya
nyawang langit yang masih pesona
bulan tlah terbang mengawang
77 derajat di timur pandang

Di barat, matahari mulai membuncah merah
Barangkali saja ia tengah membakarmu
di pulau seberang pulau yang kausebut; sorga.
Yang kini belum sempat juga kusinggahi
meski kau tlah mengundangku berkali

Ahh…setidaknya di sini,
langit masih menyisakan warna birunya
ditingkahi 99 layang-layang
yang diulukkan dari tanah lapang
dan tawa bocah-bocah di sawah
yang menjelang hilang dilahap pialang

Setidaknya di sini,
langit masih mengisahkan dongeng senjanya
sebelum bocah-bocah itu kehilangan sorganya
Sebelum anak-anak petani itu merengek pada ibunya
yang tak sanggup beli karcis masuk taman bermain
yang tumbuh di atas bekas sawah miliknya

Setidaknya angin masih ramah bersiut,
menarikan layang-layang mereka
Canda ria bersahutan dengan tawa
bahagia yang melegakan telinga

Awan-awan sirrus dan stratus betapa halus
melembut menyeka mataku yang meradang
seharian di depan layar neraka sang durjana
yang setiap hari mengirimi sihir dan guna-guna;
“Kau harus sabar dan tetap bekerja,
agar tak lagi menggelandang dalam ketidak jelasan.
Tolonglah dirimu sendiri, sebelum kau tolong orang lain.
Tak sepatutnya kembali meminta-minta.”

Kulayangkan tanya pada batinku sendiri,
dalam bisik yang rahasia;
“Tahu apa dia tentang kehendakNya?
Tahu apa dia tentang rencana kita?
Rahasia kita?
Tahu apa dia tentang yang dia omongkan?
Tahu apa dia tentang tolong menolong?
Bantu binantu?
Toh dia tahunya hanya memperkuda
dan menumpuk-numpuk untung saja.
Layar celaka ini harusnya sudah dibuang
di gudang barang-barang terkutuk.”


Lalu muncul lagi dari dalam keburaman
layar kotak celaka itu sesosok tambun
tampang Yahudi tipikal
dengan kumis dan brewok lebat
rambut memutih gondrong kelabu
Mulutnya komat-kamit
menyerukan mantra-mantra kuna;
“Tabah dan teguhlah! Kau harus tetap bekerja.
Dengan begitu, kau kan sepenuhnya jadi ummatku.
Ummatku terpilih, kaum pekerja, buruh yang tangguh.
Sang proletar yang sanggup menyambung seruanku;
Wahai kaum pekerja! Kaum buruh di seluruh dunia!
Bersatulah!”


Lalu mendadak lenyap
Senyap meninggalkan geli yang sangat

“Hahahahaha rupanya dia mengigau!
Puluhan tahun tertidur dan tiba-tiba tergugah,
tak sadar dunia telah berubah
Wahai batinku, kau masih ingat Ashabul Kahfi?
Ya, begitulah si doi, manusia lampau di era baru.
Lucu.
Toh mbah brewok itu juga tak peduli
kalau sampai kini, kita bahkan belum kuasa
atas alat produksi.
Doi malah enak-enakan tidur di kuburan.”


Oh langit, suguhan kisahmu sungguh indah
Biru dan merah berpadu singgah,
bercengkrama di atap rumah.
Luruh penuh merambang mata
kala senja tiba di beranda

Oh bumi, berapa lama lagi kusinggahi
beranda kata dan peristiwa ini
yang nyata dan sandiwara tiada beda
lebur lembayung dalam fana
Senjakala

Oh awan, oh angin,
damaikanlah mataku yang berpelangi
kepada bening kembali
seperti mata bayi

Oh bulan,
Oh malam yang menjelang datang
Bawalah aku pulang
kepada diri sendiri

Oh layang-layang berlampion terang
yang masih bertahan terbang
berkedipan dengan bintang-bintang
Sampaikan salamku ke sorga seberang;
Tak perlu menantiku, aku pasti kan pulang

Sepenggal sorga di beranda,
suatu saat nanti pun kan jengah
mendengar keluh kesah
Sorga ini hanya sementara singgah
membakar bertumpuk kata kutuk,
bertandan makian dan hujatan

Bila saatnya tiba,
ia pun kan berlalu jua.
Meninggalkan api panas menyala,
menghanguskan segala sia-sia
Dan aku, dimana aku kala semua tiba?
Sementara sorga yang terjanji
mulai tergenapi

Duhai impian, seretlah aku pulang
ke dalam batin terdalam,
tempatku berdiam.

------------------------

Kerobokan, Bali, Juni 2009

Bangunkan Aku!

1.
Bangunkan aku dengan mantrammu,
Chairil, dan segala sumbang binatang jalang
bila kau dapati tlah patah arangku
dan kering tintaku

Kawan sejati bukan ia
yang merdu mendayu
dan me"Nina Bobok"kan.
Bukan pula bujuk merajuk
saat suntuk
di ke'entah'an.

Melainkan sambal terpedas
dan kopi hitam mendidih panas
bersemat sebatang kata
membara
terselip di ujung bibirnya
sinis
membakar malam...

...dan senyum simpul pun mengepul.

2.
Bangunkan aku dengan seru-MU
yang menggebu
menderu debu
menggugahku bergegas menuju
garis depan bagi yang sepaham
se - tuju

Guru sejati bukan ia
yang mengajarkan kemapanan
dalam kepasrahan
menyuntikkan ber-ampul-ampul
kata penenang
mengantar lelap di per'adu'an
hingga tak kenal kata menang

Tetapi DIA
yang telah memaklumi kehidupan
dan menginsyafi kematian
akan slalu menguatkan
Sang Murid mengikuti jalan
hingga mencapai kebeningan
lenyapnya segala misteri
bagi Sang Pencari.

menyatu dalam Sang Terang
...menuju pembebasan !

3.
Bangunkan aku !
sebelum aku membangunkanmu
dari tidur panjangKU

Bangunkan aku !
sebelum AKU menjelma mimpi burukmu,
mimpi burukku

Bangunkan AKU !
sebelum aku beranjak mencintaiMU
berlari dan mengungsi
dari medan segala pertempuran

Bangunkan AKU !
bersama KITA teguhkan
iman perlawanan !
_______

...tiada kamu, tiada aku
tiada AKU, tiada kamu, tiada aku
tiada KITA
tiadalah...
hanya kita
(yang ringkih, fana, dan papa
dalam keabadianNYA)

pada setiap gerak per detak pikirnya
diburu khayalan dan bayangannya
tentangNYA.
(membayangkan sorgaNYA
mengkhayalkan tiadaNYA)

mengencingi nerakaNYA
yang tak padam jua

rupaNya kita yang tak paham jua.
maka;
"TERJADI...TERJADILAH !"
papa kita tak henti
fana kita abadi
abadilah kita
abadi dalam ketidakabadian

-----------

Bangunkan AKU !
kirimi aku mukjizatMU
keajaiban kataMU;
"Jadilah kehendakMU
di bumi seperti di sorga."
membangkitkanKU
lebih dari yang aku mampu

Bangunkan AKU !
aku mau hidup melebihi
seribu tahun lagi
melewati Chairil
lampaui bermil-mil
milenium lagi
aku ingin berjumpa
para nabi
yang abadi
mengenyam cahaya
hikmah Anbiyaa'
bersamaNYA

Bangunkan aku.
kumohonkan diriMU
besertaku dalam AKU
tiada kita... tiadalah KITA
hanya AKU
satu
aku adalah KAMU
kamu adalah AKU
berpadu dalam laku
mengAKU...

Bangunkan aku.
karena masa pengAKUan
akan datang
menggantikan keakuan
yang menyengsarakan

Segala kegelapan
musna dari keberadaan
semua menjadi terang
benderang
seiring genderang perang
dan sangkakala sorga Hyang
berkumandang

Di depan gerbangNYA,
Siddharta mengetuk
dengan mengasong mangkuk
menebar senyum muluk
bagaikan dewa mabuk

Di sisi kiriNYA,
Marx duduk tertunduk
sekali-dua terbatuk
bersuntuk baca kitab suluk
yang purba puaka dan buluk
"Hmm...kemelaratan harus dibebaskan
dari kutuk !"
geramnya lirih, keluar dari lubuk
jidat botaknya digaruk - garuk
sambil 'manthuk-manthuk'
dan mulai mengantuk

Di sisi kananNYA,
Tampak seorang anak manusia
yang luar biasa gagah parasnya
Pandangnya menerawang dunia
menyusuri belahan – belahan buana
Tampak air matanya
menitik ke pangkuannya
Kesedihan meliputi batinnya

Saat ia palingkan pandang
Ke arah dalam gerbang,
tampak matanya berbinar terang
melukiskan kebahagiaan
mengawang menjelma dalam bayang
mendekat saat yang dijanjikan
akan segera datang
terbukanya gerbang impian

Ia serupa manusia yang telah diselamatkan
dari beringasnya kebodohan dan kekejaman
orang – orang Israel jaman penjajahan,
sewaktu pendudukan kekaisaran

Di tangan kanannya tergenggam sebuah gulungan
bersemat catatan akherat dan wahyu Tuhan
Di tangan kirinya tergenggam gulungan
bertuliskan ikhwal dunia
dan serat jangka segala pujangga

Kembali ia menatap nanar pada dunia
Dan kembali menangis dalam duka nestapa

Kudekati ia dengan Tanya;
“Kenapa ?”
Ia menyambutku dengan sabda;
“Simpan tanyamu dan jangan berkata – kata.”

Aku bergeming dalam terdiam…

“Masuklah engkau wahai anak manusia ke dalam hatiku !
Kita akan saling berbicara dari hati ke hati,
Karena kata – kata tak mampu menjelaskan semuanya.
Masuklah ke dalam hatimu,
maka akan kau pahami hatiku.”

Bagai disapa sihir, aku menurut saja
Seperti kerbau dicocok hidungnya

“Baiklah, aku kini bisa melihat apa yang kau lihat,
Dan memaklumi kenapa engkau menangis
pada duka yang tak sanggup kutulis.”

“Lihatlah Saudaraku, dimana bangsaku,
Bangsa Israel yang dulu kuperjuangkan
hingga kini masih membara oleh angkara
Yerusalem telah serupa neraka
Orang – orang bertikai dan saling adu daya
Manusia membunuh manusia
atas nama agamanya
Bangsaku sendiri telah mengingkariku
dan mengingkari firman Bapa-ku
Mereka kembali membudak dungu
mengabdi kepada si mata satu.”


“Bukankah semua telah menjadi kehendak Bapa-mu ?”

“Benar Saudaraku,
Tetapi Bapa-ku pun berkata
Agar manusia sepatutnya berusaha
menuju kebahagiaan terbaik
dalam jalan dan cara terbaik.”


“ Mereka beranggapan bahwa perang jalan terbaik
Sedangkan engkau menganjurkan kasih
dan perdamaian sebagai jalan terbaik...
Apakah keduanya bisa dipersatukan
dalam kedamaian ?”

“Hanya kematian yang akan mempertemukan
Mereka dalam kedamaian.”


“Lalu kenapa semua kautangisi ?”

“Aku menangis karena aku belum bisa bertemu Bapa-ku
Aku belum akan memasuki sorga Bapa-ku
Sebelum selesai urusanku di dunia.”


“Karena itulah, kau akan turun lagi ke dunia?
Memperbaiki kesalahan – kesalahan manusia ?”

“Ya, menebus kesalahan – kesalahanku sendiri,
memperbaharui apa yang harus diperbaharui
Sekaligus mempertahankan dan menjaga
apa yang mestinya dijaga.”


“Maafkan aku yang belum memahami arti
dari apa yang kau maksud.”

“Aku akan turun ke dunia dan terlibat perang
bersama barisan Al Mahdi yang telah terjanji.”


“Jadi kau kini sepakat perang ?”

“Ya, perang melawan kebathilan
Karena hanya dengan jalan itu
aku akan memperoleh kedamaian
Di sisi Bapa-ku.”


“Al Mahdi ?”

“Al Mahdi akan memimpin di garis depan
Ia muncul bersama kaum dari timur,
mereka berperang dengan kedamaian
Tidak mengandalkan kekuatan tentara
dan senjatanya tersimpan dalam dirinya
sebagai berkah dari Tuhannya
Ia berperang melawan Dajjal,
si mata satu.”


“Maafkanlah aku yang belum juga mengerti.”

“Kaum dari timur,
dari pulau – pulau dan benua
dari sanalah jiwaku terpanggil.
Di masa remajaku,
aku pernah singgah dan berguru
ke Himalaya dan negeri – negeri timur
lalu aku kembali ke Yerusalem,
mengajar kebajikan dan penyembuhan
hingga terakhir kali,
dari Golgota aku menanggalkan dunia
dalam usia muda.
Tetapi aku tidak terbunuh,
Bapa-ku menyelamatkan
dan mengangkatku
ke suatu tempat yang tinggi
dan menyerupakan seseorang
untuk menebus dosanya,
menggantikan salibku.”

“Kau rindu pulang ke Yerusalem ?”

“Yerusalem telah serupa neraka,
aku akan memasuki Yerusalem baru di negeri pulau
Antara dua benua dan dua samudra
tempat bertemunya musim – musim
Tempat terkaya flora dan fauna
dan kaya mineral bumi di dalam rahim
Muara bertemunya segala budaya
Dari sanalah kukabarkan iman perlawanan
Menentang durjana, si mata satu.”

“Si mata satu ?”

“Manusia dikaruniai dua mata
Seharusnya pandangannya luas dan bebas
untuk terus mencari kebenaran
Si Mata Satu berpandangan sempit dan picik,
tingkah lakunya bagaikan memakai kacamata kuda
Ia menganggap dirinya yang paling benar dan paling kuat.
Ia berhukum pada hukum rimba, keserakahan, dan kezaliman.
Ia dajjal ! iblis ! bileam ! luchifer !
tempat bersemayam segala kutuk dan laknat
Sedang Al mahdi berhukum pada tali Allah dan tali manusia,
serta tata bijaksana kepada semesta.”

“Apakah yang kau maksud perjuangan masyarakat madani
melawan manusia – manusia rimbawi ?
Apakah maksudmu survival of the wisest melawan survival of the fittest?”

“Bahasamu terlalu rumit dan sulit.
Yang jelas aku akan menyempurnakan hukumku;
Bukan berikan pipi kanan jika ditampar pipi kirimu,
Tetapi;
Sapa utang mbayar, sapa njilih mbalekake
Utang nyawa saur nyawa, utang wirang nyaur wirang.”


“Sepertinya aku pernah mendengar…”

“Ya, ada tertulis…
Dalam gulungan yang kupegang,
adalah serat jangka dan ilmu ‘pakiwan’
Semua kugenggam di tangan kiriku.
Dan semua kalam Tuhan dari nabi – nabi sebelumku
dan nabi sesudahku
Kugenggam di tangan kananku.”

“Apa lagi yang tertulis di sana ?”

“Bukan berikan pada Kaisar apa yang berasal dari Kaisar
dan berikan pada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan…
Tetapi;
Berikan semua yang berlebih pada Tuhan, karena semua milik Tuhan
dan berasal dari Tuhan.
Berserah diri dan bersedekahlah !
Karena lebih mudah memasukkan seekor onta ke lobang jarum
daripada memasukkan orang kaya yang celaka ke dalam sorga.
Dan jangan berikan sekalipun karunia Tuhanmu
kepada penjajah dan penjahat !”


“Apakah penjajahan masih ada ?”

“Penjajahan seperti halnya kejahatan
Selalu memperbarui diri
untuk berlomba mengingkari kebenaran
ia seperti bunglon yang berobah – obah kulitnya
dan kadang tampangnya sok suci.
Yerusalem masih dalam kuasa penjajah
Dan Yerusalem baru yang sekarang,
dibangun di atas tanah dan kemunafikan kaum penjajah
Mereka yang dahulu menjajah bangsaku, Israel
dan mengusirku serta berkeras meniadakan keberadaanku
Telah membangun Yerusalem palsu
di jantung kotaraja Kaisar penjajah.”

“Apa yang bisa kulakukan untukmu ?
Untuk membebaskan jiwamu ?”

“Kau bersabarlah dalam kesadaran,
Teguhkan iman perlawanan
agar Bapa-ku, Allahmu mendengar
Doa dan harapanmu untuk kedamaian
dan kebahagiaan hakiki.
'Bertekunlah dalam jalan kebenaran
Berjuanglah menetapi keadilan
Hiduplah dalam rasa kejujuran.'
Aku akan datang di tengah kaum dari timur
dalam kobaran api perlawanan
di bawah kibaran bendera hitam
Warna malam, warna keabadian
Warna kebijaksanaan
Mereka akan membebaskanku dan memasukkan aku
Ke dalam sorga Bapa-ku
Allahku. Allahmu. Satu
Aku adalah kamu
Kamu adalah aku
Satu dalam Allahku
Satu dalam rahsa kemanusiaan
Satu dalam keseimbangan alam.”


“Guru, apa yang harus kukabarkan dan kuperbuat kepada Saudaraku ?”

“Layanilah manusia yang sengsara,
seperti kau saksikan dalam sengsaraku.
Bebaskanlah mereka
Dan katakanlah;
Jangan bersedih !
Karena aku besertanya
dan turut turun berjuang bersamanya
Menggenapi janji Bapa-ku
Allah manusia dan seluruh alam.
Salam dan selamat untukmu
Saudara dan kawan seperjuangan.”

____________

Bangunkan aku selalu, SodaraKU
sebab mereka harus diperjuangkan
memasuki hidup
dan menghidupkan sorga
menghayati dan menyadari
keadaan semesta

Semoga semua makhluk
menyadari dirinya
menyadari diriNya
menyadari diriNYA

------------

(*pour: AH n PF n all the avantgardian, Chairil n my self)

Bali, Mei 2009


mimpi dan revolusi (digital imaging, charcoal fx)

Televisi Mati

( menatap Aku, Kau dan Dia )


Kau ciptakan misterimu
Ku kabarkan kenyataanku

Kau bangun kebanggaanmu
Ku geluti kemelaratanku

Kau kibarkan keagunganmu
Ku diami kesunyianku

Kau rayakan kesombonganmu
Ku hayati kefanaanku

Kau enyahkan amarah-lawamahmu
Ku kembangkan senyum-bahagiaku

------------------------

Hidup tidak begini
pula tidak begitu

Pada mulanya kosong semata
lalu hadir suara-suara
susul-menyusul dalam warna-warna
bergerak-gerak dengan bebasnya

Bermilyar beda dalam satu media
timbul tenggelam
hilir mudik
silih berganti

Bila waktunya tiba,
semua musna !
kosong...
gelap
senyap
seperti sediakala

Hanya Dia yang mengada
kekal dalam senyum dan tawa
di depan dan di balik semua
nama dan
peristiwa-peristiwa fana

mengekal dan meng-Aku
seperti pertama kali ada
dan dalam perjalanannya
dan untuk terakhir kalinya
selamanya
ada
Dia
dan
Aku

---------------

* inspired n pour Amroen, my great bro, who's watching the dying television
Juni, 2006

Apa Yang Kau Pikirkan?

Apa yang Aku pikirkan ?

Aku memikirkan pertanyaanmu
yang berulang mengintaiku.
Setiap saat, kau selalu saja bertanya ;
“Apakah yang Anda pikirkan ?”
Memangnya kau siapa ?
Kawan ? Lawan ?
Setan ? Tuhan ?
Jawablah dulu tanyaku
sebelum kujawab tanyamu
dengan semua yang ada
di dalam dunia kecil benakku.
Oh…tidak !
Sekarang juga kuharus meninggalkanmu
Membiarkanmu dimabuk sibuk
dengan pertanyaan-pertanyaanmu
dan mempersilakan makhluk-makhluk lain
menyampaikan jawab tanyamu.

Apa yang Kau pikirkan ?

Aku mau rehat
Istirahat
Membayangkan tidur panjang
terbujur tenteram dalam kedamaian
berkubur bunga-bunga kamboja
berbantal dua batu kali yang kupesan
dari sungai berjeram terderas.
Oh tidak !
Aku memikirkan berjuang
menentang sakit gigiku yang meradang
dan semakin mengganas
Memikirkan musnahnya kuman-kuman
yang menyusun kerajaannya
di rongga mulutku.
Mereka seperti tengah membangun
gedung-gedung menjulang langit
hingga menembus kepalaku
bunyi suara palu bertalu-talu
ditimpali derak derek crane
dan deru bulldozer, mesin-mesin
dan suara-suara alat-alat berat lain
mesin-mesin yang bikin pusing.

Apa yang Kau pikirkan ?

Aku memikirkan
menyudahi semua siksa dan coba
mengunyah pahitnya getah kamboja
memamah berkuntum bunga-bunga indah
Memikirkan sekapur sirih untuk kucecap sebagai susur
biar bertapa di goa-goa mulutku
Aku memikirkan buah pinang dan secuil gambir pengusir sihir
Aku memikirkan sejumput kemenyan dan akar klembak
yang kan kukuburkan ke dalam jurang-jurang nyeriku
Aku memikirkan kopi balian yang kan kutaburkan
di atas kuburan kuman
Aku memikirkan sikat gigi dari serabut kawat kopling
yang kan hempaskan rasa sakit gigiku
Atau menyambut gergaji, biar kugorok saja rahangku
agar bisa kulihat jelas cacah kuman
yang bersemayam di dalam
Oh tidak !
Aku memikirkan betapa indahnya
mencinta dan merindu
betapa mulianya cinta, beserta kasihNya
Aku memikirkan tembakau pilihan
dari tanah kelahiran
menemaniku dalam penantian


Apa yang Kau pikirkan ?


Aku memikirkan perjumpaan
dan perjamuan bersamamu
dengan menunggang bulan lepas purnama
yang masih menyisakan warna merah tembaga
menyapa dari sebalik jendela
Andai saja aku sanggup beranjak ke beranda
akan kulambaikan nyawa padanya
untuk segera menjumpa yang baka
Oh tidak !
aku memikirkan kefanaan
aku memikirkan ketidakberdayaan
aku memikirkan kenyataan
memikirkan tiga sejati yang abadi

Apa yang Kau pikirkan ?

Sujud dan syukur…
Aku memikirkan pertanyaan yang berulang dalam Ar-Rahman
“maka nikmat Tuhan yang mana lagi yang masih kau dustakan ?”
Aku memikirkan indahnya bersyukur
Aku memikirkan hela nafas yang teratur
Oh tidak !
Aku memikirkan diriku yang tersengal dan tersungkur
pada sakit yang tak jua mundur
walau berkali-kali ku berkumur
Sedetik sakit ini membawaku setahun lebih uzur
dan otak-ototku kendur, dan pandangku kabur
mendekat ke dalam kubur


Apa yang Kau pikirkan ?

Aku memikirkan diriku yang menyerah
dan kalah sebagai pengecut dan pecundang
Memikirkan epitaf pada nisanku
yang batal dipesan dari batu
cadas kali nan deras sekali
Tapi dari kayu jati murahan
dari kios penjual peti mati
di pinggir jalan
Di sana tersemat seuntai jati diri;
“Di sini dimakamkan seorang pengecut,
sebenar-benarnya kecut.”
Oh tidak !
Aku sedang bertapa di tengah laut
menyelam dalam luasnya samudra garam
Nafas-darahku asin dan haram
mengeram di dasar malam


Apa yang Kau pikirkan ?


Aku memikirkan Dewaruci
Aku memikirkan Ratu Samudra
Aku memikirkan Lord Neptune
Aku memikirkan Jack Dawson
Memikirkan pemuda mempesona
kan menceriterakan ihwal Titanic
dan mengajariku menggambar
jiwa-jiwa yang telanjang.
Oh tidak !
Aku membayangkan bangkitnya Captain Jack !
Jack Sparrow !
mengajakku berlayar lagi dan kembali
menjelajah tempat-tempat terindah.
Pulau ke pulau berlimpah berkah
Ia mempertemukanku kepada Jack Daniels
dan Kapten Hook, yang kan mencongkel gigiku
dengan tangan ganco-nya.


Apa yang Kau pikirkan ?


Aku memikirkan perjalanan,
pengarungan
Bertemu dengan kawan sejalan
mengarungi seberang demi seberang lautan
badai-badai kita hadapi !
pulau-pulau kita hidupi !
Lalu kita menyeberang langit
dengan perahu Nuh !
dengan memuat semesta jiwa penuh.
Oh tidak !
Aku merindukan pulang
Sebagian nyawaku masih tertinggal
di kampung halaman
Pada gairah fajar gadis cilikku,
cikal Anbiyaa-ku, cahaya hidupku,
tunas subur jiwaku
Aku merindukan pulang
pada petuah senja orang tuaku,
yang mengharukanku.


Apa yang Kau pikirkan ?

Aku memikirkan pulang
dan merelakan kehilangan demi kehilangan
Memikirkan pena terbaikku yang hilang.
Catur warsa tlah bertandang
saat kami bertapa di pinggir kota,
ia begitu saja keluar kamar
dan meninggalkan pertapaan karena lapar
Konon kabar, ia pergi mencari nasi bungkus.
Hingga sekarang pena emasku tak jua pulang
dan tinta cintaku keburu membeku
beranjak keras serupa intan berlian
Oh tidak !
Jiwaku-lah yang mengembara
bergentayangan menyusuri semesta
tersesat di ke-entah-an
Kehilangan jalan pulang

Apa yang Kau pikirkan ?

Pulang !
Aku memikirkan perjalanan pulang
menumpang truk angkut muatan
menyeberang menuju Blambangan,
menggugah Menak Jinggo menyatukan
arwah-arwah pemberontakan.
Lalu kembali menggelandang
membonceng kereta barang
sampai turun di stasiun Madiun
menjumpa Muso dan jiwa-jiwa pejuang
kemudian beranjak ke Ponorogo
melawat kekasih
Oh tidak !
aku mengangankan Maospati
memikirkan sang pembaca kematian

Apa yang Kau pikirkan ?

Aku memikirkan segenggam revolver meletus !
meledakkan gigiku
atau sepucuk tombak Kyai Pleret menembus gusiku
atau sebilah keris Setan Kober menghunus gerahamku
atau pedang sabit Otoman membabat rahangku
atau godam palu Lenin dan celurit Stalin
meremukkan mulutku
Oh tidak !
Aku memikirkan trisula nan bijaksana
yang tajamnya melampaui taring-taring singa.
Dan padanya aku berkata :
“ampuni dan selamatkanlah aku !”


Apa yang Kau pikirkan ?

Pengampunan !
Tobat !
Aku memikirkan At-Taubah,
sebuah surah tanpa sirah basmalah
Aku memikirkan janji-janji indah
yang harusnya kuterima dengan pasrah
Berbahagialah !
wahai Engkau penebar berkah
para hafidz dan hafidzah.
para salih dan salihah
para Abdillah.
Oh tidak !
Aku menghayalkan Rsi Viyasa sakit jiwa
di puncak ketegangan Bharatayuda
Aku membayangkan Sri Krsna salah sabda
dalam Bhagavadgita
Aku memikirkan wahyu yang menderu
pada Yohanes pembaptis yang terburu
Aku mengeja karomah Samsujen pada Jayabaya
dan hikmah Nuripin pada Bagus Takwin,
yang akhirnya takluk pada semat drajat pangkat
sebagai Ngabehi Ranggawarsita

Oh tidak !
Aku tengah mencacah arwah-arwah gentayangan
di langit kamarku yang mendadak remang temaram
dan datangnya Izrail
dan sangkakala Israfil
dan 99 nama dari Al Kamil
dan 666 sayap-sayap Jibril
dan 7777 doa-doa Sang Mikail

catur windu tersamar pada debil

Apa yang Kau pikirkan ?

Pergi !
mati sana ! atau gila saja !
Pergilah !
Sebelum kucurah ayat-ayat hujat
yang padamu kutoreh pada jidat
Pertanyaanmu sederhana
namun panjang jawabnya
Tanyakan saja pada yang lain.
atau hembuskanlah pada angin
Oh tidak !
tidak ! tidak !
Aku harus balas salam,
doa keselamatan kawan-kawan,
para kekasih Tuhan
Menghargai pemberkatan,
memaklumi peringatan
atas kelahiran
akan penuaan
dan kematian

Apa yang Kau pikirkan ?

Mengingat mati,
menjalin silaturahim dengan sodara,
kerabat dan kawan-kawan
masa kini dan masa lalu
Berbagi pandangan, impian dan harapan
dengan kawan-kawan masa depan
Oh tidak !
Aku masih saja memikirkan diriku sendiri
untuk menyudahi semua ihwal sakit gigi

Apa yang Kau pikirkan ?

Aku memikirkan aku
Aku memikirkan doa-doa
dan segala berkah itu
mereka curahkan untukku
terserak di belakang tanyamu
Aku mengharapkan kesembuhanku
Aku mengawangkan keawamanku
Aku menginginkan kemanusiaanku
Aku memohonkan balasan Tuhan
atas segala kebaikan kawan-kawan
Oh tidak !
Aku memikirkanmu !
Aku memikirkanmu wahai
Ida Sangiang F@$#b**K !
Aku memikirkanmu !
Memikirkan pertanyaan yang berulang.
Karena darimu dan padamu-lah,
semua doa balasan dan harapan
akan menemu kenyataan


Apa yang Kau pikirkan ?

Apa yang kau pikirkan jika Aku memikirkanmu ?


Apa yang KAU pikirkan ?

… !!!

?


------------------------------------------------------------------------

* "Catatan Sakit Gigi di Hari Jadi"


Bali, Juni 2009

Semar Kembar Di Alengka, dan Salamku Untuk Ayodya

(Surat Hanoman Kepada Sri Rama)

Memasuki malam,
Bulan telah tertidur di akhir perjalanan Candra-nya.
Di belahan bumi lain, matahari Mei tengah kegerahan
memutar roda waktu.
Esok kan bangkit lagi bulan baru, menyertai malam-malammu,
dan kan terbit Surya menjadi mata hari-harimu.

: Rama,

Kepadamu,
kutuliskan riwayat kacau dari jiwa yang meracau di tanah rantau.
Kala belantara senyap, dan kota pun tlah terlelap
Tertegunku masih dalam tanya dan tergagap.
Mengeja Ayodya, mengeja Alengka.

“Kapan tiba saatnya kubakar malam gelap ?
Biarlah jadi abu, atau tertangkap, disekap dalam penjara pengap !”

Aku Hanoman,
monyet putih yang berseru-seru di seberang pulau.
Duta keberanian dan ketangkasan pikiran
Kini termangu dalam ragu dan risau.

Di langit,
kulihat bintangmu mulai memancar
Samar-samar berpendar
Tampak dua sosok tambun besar,
seperti Semar kembar.

Kudengar suaranya seperti saling bertengkar;
“Kau harus meluhurkan tradisi dan mengikuti para suci !”
seru Semar pertama
“Tidak ! aku akan mencipta tradisiku sendiri, aku pemuda masa kini.”
sergah Semar kedua
Mereka saling seteru tapi tak jua bercerai,
bersatu-padu, bersekutu dalam garis edar semesta rasi.
Sesaat aku terenyuh;
“Hyang Maha Kuasa punya rencana apa dari semua ini ?”
Lalu kudengar lagi suara Semar itu berbarengan;
“Baiklah, mari kita tetap bekerjasama
Menerangi masa depan, masa kini, dan tradisi.”
“Sepakat ! Akur ! Se-tuju !”
Mereka saling peluk, erat dan likat bagai se-tubuh.
“Terimakasih Tuhan, Kau tahu apa yang kupikirkan.”
Gumamku tertunduk, lirih.

“Telah kutampakkan Gemini padamu seperti kau lihat dalam malamku agar kau mengerti.”

Terdengar suara menggema tanpa rupa.
Kutengok kanan-kiri, sunyi.
Kutengok ke belakang, lengang.
Tengadah pandangku ke angkasa
gelap semata.

“Kemana perginya bintang-bintang?
kemana hilangnya angin dan suara-suara?”

Tiada jawab. Senyap. Gelap.

“Aku di sini, di dalam dirimu.
Sentuhlah dadamu, rasakan getaran hatimu, itulah gema suaraku.
Rasakanlah. Pahamilah.
Lalu bukalah kedua tanganmu, tengadahkan di atas pangkuan.
Lihatlah ! inilah semestaku.
Di dalamnya kau begitu kecil, lebih kecil dari benda terkecil
yang pernah kaulihat dan kau tamsil.”

“Dan telah kupilihkan satu rasi bintang untukmu, serupa kesatria kembar,
untuk saling melengkapi satu dan lainnya.
Katakanlah, seperti di dalam dadamu kubangun dua bilik,
satu untukmu dan satu untukku.
Di antara dua bilik itu ada satu tempat untuk kita saling bertemu
bermuka-muka,
dan suatu waktu aku akan pergi darimu, maka bilik itu pun kosong,
siapapun bisa memasukinya.”

“Dunia yang kau lihat di pangkuanmu, akan kuserahkan seluruhnya untukmu
beserta segala kekayaan di dalamnya, raja-raja dan para penguasa
semua negara dan bangsa.”

( hmmm… aku mulai mengenalmu dan memahami apa yang kau katakan… )
Lalu ?

“Maka harus kau serahkan seluruh ruang di dadamu padaku,
bilik-bilik itu dalam kuasaku. Agar aku slalu menjaga dirimu.”


Enyahlah kau !
Suara-suara menyesatkan,
satu di antara kalian adalah iblis !
Aku mengenal suaramu sejak Adam hingga Al Masih.
Aku masih mengenalmu, bahkan hingga kini pun masih.
Kau maha memberi maha pengasih, tapi semua berpamrih.
Maka tiada guna pemberianmu, tiada arti kasihmu
Allahku memberi tiada harap meminta kembali.
Dia yang menyebabkanku hidup tak pernah menuntut
seperti yang kau tuntutkan padaku.
Dasar ular beludak ! Enyahlah kau !

“Ketahuilah duhai anakku,
bahwa dunia ini diciptakan kembar,
Keduanya tampak berkebalikan, ber’kosok-balen’,
tetapi sebenarnya satu.
Duniamu dunia terang, kau anggap dalam dirimu mengalir
darah putih kesadaran,
satu-satunya aliran yang kau anggap kebenaran,
hingga amarahmu mudah bangkit
ketika melihat beda pada merah, biru, dan hitam.
Semua warna telah kusediakan sedari awalnya,
tinggal kau pilih mau memakai yang mana.
Mungkin kau harus lebih khusyuk lagi menyuntuki kegelapan,
masuki dunia hitam.
Agar kau memahami bahwa kau tak sendiri,
kelak kau akan bertemu sodaramu,
sodara kembarmu,
dirimu sendiri.”

Wahai iblis yang bijak !
ungkapkan lebih banyak lagi rahasia semesta.
Kau api yang menjelma cahaya menerangi bawana.
Usiamu lebih tua dari usia bumi dan dunia.
Sejak pembangkanganmu pertama dan kutukan itu,
dimana kemudian kau bertahta ?

“Hahahaha…seberapa jauh kau pahami kitab suci para nabi ?
Mereka mengatakan aku di neraka,
padahal aku selalu menyertai mereka
dan anak turunnya di dunia.
Aku lebih dekat dari urat leher dan darah mereka.
Mereka berkata dapat bisikan dari para malaikat,
padahal sebagian bisikan mereka berasal dariku.
Seperti yang kukatakan tadi, dunia ini kembar,
juga aku dan malaikat-malaikat itu satu.
Satu dalam Allahku, Allahmu.
Satu
Bagai Angra dan Azura bagi orang-orang Majus, Zoroaster,
mereka satu menjelma Zarathustra
Seperti Mara dan Buddha bagi para pengikut jalannya,
mereka bertemu dalam Siddharta
Seperti kematian dan kehidupan yang diterima Al Masih
Seperti kekalahan dan kemenangan ummat Muhammad
Seperti kemelaratan dan kesejahteraan yang disuntuki Marx
Seperti Adharma dan Dharma
yang tak dapat hidup tanpa salah satunya.”

Oohh…iblis yang bijak, aku mengerti arti perkataanmu.
Tapi untuk apa guna semua pengertian ini jika membuat hidupku makin hampa
dan sengsara? Bukankah lebih baik mati saja ?

“Kau harus berani memasuki hidup, seperti juga keberanianmu pada maut.
Pencarianmu tak henti di sini, masih banyak gerbang yang harus kau masuki,
untuk kau jalani.
Kelak perjalananmu akan sampai pada pulang.”

Ya, aku ingin pulang.
Aku rindu kampung halaman,
rindu tawa riang bocah-bocah di tanah lapang.
Rindu keluarga dan orang-orang tersayang
rindu suasana sorga membayang di pulau seberang,
Ayodya yang senantiasa kukenang.

Aku ingin pulang
menjalani hidup di tanah-air-api para moyang
memasuki sunyi bayang-bayang
mengadu kisah kasih kesah pada ranjang
memejam ke lain alam dalam tidur panjang
menanti-nanti datangnya terang

“Wahai kau tunas para nabi,
pandanganmu belum juga bening
seperti halnya para pendahulumu.
Kau selalu diliputi kerinduan, impian dan bayang-bayang.
Kau tak bisa lepas dari keberpihakan pada kelemahan,
kaum lemah celaka, seperti halnya moyangmu.
Hingga akhirnya kau perangi saudaramu sendiri,
saudara kembarmu.”


Biarlah aku menjadi manusia biasa,
yang tak luput dari bayang dan impian,
karena dengan anggapan itu membuatku hidup.
Gairahku teramat muda untuk mendengar keramat sabda
pada katamu yang purba dan puaka.
Segala perkataanmu mengundang jiwa rentaku
dan membuatku mati suri,
berkubur dalam hidup.

Darahku darah pemberontakan !
merah menghitam.
Segara dari segala sungai amarah yang tenggelam
Tak lagi putih memucat pasi seperti moyangku,
( yang memilih menjadi nabi dan wali )
Tak pula biru mengharu beku seperti leluhurku,
( yang meng'aku' dalam kaku dunia kraton dan
sempitnya alam pemerintahan )
Aku kaum jelata !
lahir dari rahim kemiskinan,
ditimang naungan kemelaratan.
Tumbuh dari celah-celah rekah,
tanah kering penindasan.
Dewasa ditempa amuk sengsara.

Sekarang juga kau pergilah !
Sebelum kutebas urat darahmu
Sebelum kupenggal lidah bercabangmu
Keluarlah dari bilikku. Enyahlah dari hatiku !
Karena aku yang telah diberi wewenang
oleh penciptaku akan memimpin diriku sendiri.

Lalu lengang…

--------------------------------------------------------

Di langit, Gemini hadir kembali,
tersenyum seperti senyum Semar kembar,
tergambar samar garis senyumnya
mengumbar aura antara tangis dan tawa

Semar itu samar,
membayang di awang-awang
mengawang ke bayang-bayang

Roman mukanya memancarkan kebijaksanaan,
pamong dari segala pemomong.
Usianya melebihi dunia
yang diemban dalam perut buncitnya

Konon, ia masih sedarah dengan
Togog Sang Tejamaya
dan Bhatara Guru,
mahaguru para dewa dan ksatria.
Ia sendiri jelmaan dewa Sangiang Ismaya
Ia benar-benar nyata dalam maya
Antara ada dan tiada

Menurut riwayat, ia pernah singgah sebagai pejabat
Di Desa Klampis Ireng, bergelar Ki Lurah Badranaya
Se-luruh rakyatnya hidup rukun dan makmur
“gemah ripah loh jinawi apanjang apunjung
ijo royo-royo kang sarwa tinandur
tata titi tentrem kerta raharja...”

--------------------------------------------------------

Lalu pandangku kembali ke Ayodya.

Apakah di sana ada suatu wilayah seperti wilayah yang dipimpin Ki Lurah ?
Kaki Semar Badranaya, hya Sangiang Ismaya,
hya Kyai Ismarun, hya Simbah Semangun ?

Aku Hanoman,
pemuda ‘anom’ yang belum sempurna.
Separuh kera, separuh dewa.
Belum tuntas metamorfosa menjadi manusia.
Kutulis surat ini untukmu Duh, Sri Rama,
manusia paripurna yang bertahta di Ayodya,
tuan dan sahabat garuda
kekasih segala cinta Shinta
guru dan pengayom rakyatnya

Siapa bertelinga hendaknya ia mendengar,

Bahwa di negeri Alengka yang kupijak,
kurasakan siang betapa panas dan malam begitu dingin.
Sawah-sawah hilang sudah,
berganti vila-vila, resort, dan hotel mewah
Anak-anak masa depan tanpa tanah, tanpa rumah
tanpa sekolah tanpa arah
Senyum ramah hanya mau singgah
bila kita mampu memberi 'sedekah'
di hotel-hotel, restoran, mall, kelab malam
Bar dan Bank
Banyak sedekah salah alamat
Menggunung di lumbung konglomerat
membariskan jiwa-jiwa penghianat
Bahkan di rumah bordil, tiada senyum kudapat
hanya bau laknat melarat, menyengat
Alengka kini bagai sorga yang pecah
menjadi keping-keping neraka
udaranya sesak penuh angkara
keprihatinan mengangkasa
Dewa-dewa telah takluk pada si Dasamuka
Sang Rahwana yang digdaya
bisa merubah-ubah wujud dan rupa
Pesonanya memikat bala seberang manca
untuk membangun istana-istana
dalam kerajaannya
Desa kala patra
kalah sakti kalah puaka

Duh Rama, apakah akan ada dari Ayodya sepasukan malaikat
atau ‘perewangan’ untuk membebaskan dewa-dewa Alengka ?
Akankah datang seorang kesatria yang sanggup mengalahkan
Rahwana sang angkara durjana ?

Aku Hanoman,
bertanya dalam risau dan ragu yang mendalam
Pada hati yang terbakar
panas melebihi sejuta angkara segala durjana
Kurangkum neraka segala masa dari semua dunia
berpadu dalam jiwa membara
Siap membakar malam
menabuh teriakan perang

Membebaskan mereka,
membebaskan cinta Shinta
yang terpenjara
dalam jeruji-jeruji prostitusi
Membebaskan diriku yang tersekap
dalam kutuk tubuh laknat,
separuh kera separuh dewa.
Aku inginkan transformasi sejati
menjadi manusia seutuhnya
dalam titik kesetimbangan abadi
kepada garis hakiki yang harmoni,
pembebasan diri menuju manusia sempurna
Jika evolusi gagal menjadi
maka kuinginkan satu kata sakti:
"Revolusi !"

Kutuliskan semua dalam riwayat singkat
sebagai selayang surat
Salam hangat dan jabat erat
Kepadamu dan kerabat,
kawan serta sahabat

Siapa bertelinga hendaknya ia mendengar…

“Salamku untuk Ayodya !”


-----------------------

Bali, Mei 2009




Semar Kembar (watercolour,marker on paper,Maharshi,01)