Thursday, December 24, 2009

Semar Kembar Di Alengka, dan Salamku Untuk Ayodya

(Surat Hanoman Kepada Sri Rama)

Memasuki malam,
Bulan telah tertidur di akhir perjalanan Candra-nya.
Di belahan bumi lain, matahari Mei tengah kegerahan
memutar roda waktu.
Esok kan bangkit lagi bulan baru, menyertai malam-malammu,
dan kan terbit Surya menjadi mata hari-harimu.

: Rama,

Kepadamu,
kutuliskan riwayat kacau dari jiwa yang meracau di tanah rantau.
Kala belantara senyap, dan kota pun tlah terlelap
Tertegunku masih dalam tanya dan tergagap.
Mengeja Ayodya, mengeja Alengka.

“Kapan tiba saatnya kubakar malam gelap ?
Biarlah jadi abu, atau tertangkap, disekap dalam penjara pengap !”

Aku Hanoman,
monyet putih yang berseru-seru di seberang pulau.
Duta keberanian dan ketangkasan pikiran
Kini termangu dalam ragu dan risau.

Di langit,
kulihat bintangmu mulai memancar
Samar-samar berpendar
Tampak dua sosok tambun besar,
seperti Semar kembar.

Kudengar suaranya seperti saling bertengkar;
“Kau harus meluhurkan tradisi dan mengikuti para suci !”
seru Semar pertama
“Tidak ! aku akan mencipta tradisiku sendiri, aku pemuda masa kini.”
sergah Semar kedua
Mereka saling seteru tapi tak jua bercerai,
bersatu-padu, bersekutu dalam garis edar semesta rasi.
Sesaat aku terenyuh;
“Hyang Maha Kuasa punya rencana apa dari semua ini ?”
Lalu kudengar lagi suara Semar itu berbarengan;
“Baiklah, mari kita tetap bekerjasama
Menerangi masa depan, masa kini, dan tradisi.”
“Sepakat ! Akur ! Se-tuju !”
Mereka saling peluk, erat dan likat bagai se-tubuh.
“Terimakasih Tuhan, Kau tahu apa yang kupikirkan.”
Gumamku tertunduk, lirih.

“Telah kutampakkan Gemini padamu seperti kau lihat dalam malamku agar kau mengerti.”

Terdengar suara menggema tanpa rupa.
Kutengok kanan-kiri, sunyi.
Kutengok ke belakang, lengang.
Tengadah pandangku ke angkasa
gelap semata.

“Kemana perginya bintang-bintang?
kemana hilangnya angin dan suara-suara?”

Tiada jawab. Senyap. Gelap.

“Aku di sini, di dalam dirimu.
Sentuhlah dadamu, rasakan getaran hatimu, itulah gema suaraku.
Rasakanlah. Pahamilah.
Lalu bukalah kedua tanganmu, tengadahkan di atas pangkuan.
Lihatlah ! inilah semestaku.
Di dalamnya kau begitu kecil, lebih kecil dari benda terkecil
yang pernah kaulihat dan kau tamsil.”

“Dan telah kupilihkan satu rasi bintang untukmu, serupa kesatria kembar,
untuk saling melengkapi satu dan lainnya.
Katakanlah, seperti di dalam dadamu kubangun dua bilik,
satu untukmu dan satu untukku.
Di antara dua bilik itu ada satu tempat untuk kita saling bertemu
bermuka-muka,
dan suatu waktu aku akan pergi darimu, maka bilik itu pun kosong,
siapapun bisa memasukinya.”

“Dunia yang kau lihat di pangkuanmu, akan kuserahkan seluruhnya untukmu
beserta segala kekayaan di dalamnya, raja-raja dan para penguasa
semua negara dan bangsa.”

( hmmm… aku mulai mengenalmu dan memahami apa yang kau katakan… )
Lalu ?

“Maka harus kau serahkan seluruh ruang di dadamu padaku,
bilik-bilik itu dalam kuasaku. Agar aku slalu menjaga dirimu.”


Enyahlah kau !
Suara-suara menyesatkan,
satu di antara kalian adalah iblis !
Aku mengenal suaramu sejak Adam hingga Al Masih.
Aku masih mengenalmu, bahkan hingga kini pun masih.
Kau maha memberi maha pengasih, tapi semua berpamrih.
Maka tiada guna pemberianmu, tiada arti kasihmu
Allahku memberi tiada harap meminta kembali.
Dia yang menyebabkanku hidup tak pernah menuntut
seperti yang kau tuntutkan padaku.
Dasar ular beludak ! Enyahlah kau !

“Ketahuilah duhai anakku,
bahwa dunia ini diciptakan kembar,
Keduanya tampak berkebalikan, ber’kosok-balen’,
tetapi sebenarnya satu.
Duniamu dunia terang, kau anggap dalam dirimu mengalir
darah putih kesadaran,
satu-satunya aliran yang kau anggap kebenaran,
hingga amarahmu mudah bangkit
ketika melihat beda pada merah, biru, dan hitam.
Semua warna telah kusediakan sedari awalnya,
tinggal kau pilih mau memakai yang mana.
Mungkin kau harus lebih khusyuk lagi menyuntuki kegelapan,
masuki dunia hitam.
Agar kau memahami bahwa kau tak sendiri,
kelak kau akan bertemu sodaramu,
sodara kembarmu,
dirimu sendiri.”

Wahai iblis yang bijak !
ungkapkan lebih banyak lagi rahasia semesta.
Kau api yang menjelma cahaya menerangi bawana.
Usiamu lebih tua dari usia bumi dan dunia.
Sejak pembangkanganmu pertama dan kutukan itu,
dimana kemudian kau bertahta ?

“Hahahaha…seberapa jauh kau pahami kitab suci para nabi ?
Mereka mengatakan aku di neraka,
padahal aku selalu menyertai mereka
dan anak turunnya di dunia.
Aku lebih dekat dari urat leher dan darah mereka.
Mereka berkata dapat bisikan dari para malaikat,
padahal sebagian bisikan mereka berasal dariku.
Seperti yang kukatakan tadi, dunia ini kembar,
juga aku dan malaikat-malaikat itu satu.
Satu dalam Allahku, Allahmu.
Satu
Bagai Angra dan Azura bagi orang-orang Majus, Zoroaster,
mereka satu menjelma Zarathustra
Seperti Mara dan Buddha bagi para pengikut jalannya,
mereka bertemu dalam Siddharta
Seperti kematian dan kehidupan yang diterima Al Masih
Seperti kekalahan dan kemenangan ummat Muhammad
Seperti kemelaratan dan kesejahteraan yang disuntuki Marx
Seperti Adharma dan Dharma
yang tak dapat hidup tanpa salah satunya.”

Oohh…iblis yang bijak, aku mengerti arti perkataanmu.
Tapi untuk apa guna semua pengertian ini jika membuat hidupku makin hampa
dan sengsara? Bukankah lebih baik mati saja ?

“Kau harus berani memasuki hidup, seperti juga keberanianmu pada maut.
Pencarianmu tak henti di sini, masih banyak gerbang yang harus kau masuki,
untuk kau jalani.
Kelak perjalananmu akan sampai pada pulang.”

Ya, aku ingin pulang.
Aku rindu kampung halaman,
rindu tawa riang bocah-bocah di tanah lapang.
Rindu keluarga dan orang-orang tersayang
rindu suasana sorga membayang di pulau seberang,
Ayodya yang senantiasa kukenang.

Aku ingin pulang
menjalani hidup di tanah-air-api para moyang
memasuki sunyi bayang-bayang
mengadu kisah kasih kesah pada ranjang
memejam ke lain alam dalam tidur panjang
menanti-nanti datangnya terang

“Wahai kau tunas para nabi,
pandanganmu belum juga bening
seperti halnya para pendahulumu.
Kau selalu diliputi kerinduan, impian dan bayang-bayang.
Kau tak bisa lepas dari keberpihakan pada kelemahan,
kaum lemah celaka, seperti halnya moyangmu.
Hingga akhirnya kau perangi saudaramu sendiri,
saudara kembarmu.”


Biarlah aku menjadi manusia biasa,
yang tak luput dari bayang dan impian,
karena dengan anggapan itu membuatku hidup.
Gairahku teramat muda untuk mendengar keramat sabda
pada katamu yang purba dan puaka.
Segala perkataanmu mengundang jiwa rentaku
dan membuatku mati suri,
berkubur dalam hidup.

Darahku darah pemberontakan !
merah menghitam.
Segara dari segala sungai amarah yang tenggelam
Tak lagi putih memucat pasi seperti moyangku,
( yang memilih menjadi nabi dan wali )
Tak pula biru mengharu beku seperti leluhurku,
( yang meng'aku' dalam kaku dunia kraton dan
sempitnya alam pemerintahan )
Aku kaum jelata !
lahir dari rahim kemiskinan,
ditimang naungan kemelaratan.
Tumbuh dari celah-celah rekah,
tanah kering penindasan.
Dewasa ditempa amuk sengsara.

Sekarang juga kau pergilah !
Sebelum kutebas urat darahmu
Sebelum kupenggal lidah bercabangmu
Keluarlah dari bilikku. Enyahlah dari hatiku !
Karena aku yang telah diberi wewenang
oleh penciptaku akan memimpin diriku sendiri.

Lalu lengang…

--------------------------------------------------------

Di langit, Gemini hadir kembali,
tersenyum seperti senyum Semar kembar,
tergambar samar garis senyumnya
mengumbar aura antara tangis dan tawa

Semar itu samar,
membayang di awang-awang
mengawang ke bayang-bayang

Roman mukanya memancarkan kebijaksanaan,
pamong dari segala pemomong.
Usianya melebihi dunia
yang diemban dalam perut buncitnya

Konon, ia masih sedarah dengan
Togog Sang Tejamaya
dan Bhatara Guru,
mahaguru para dewa dan ksatria.
Ia sendiri jelmaan dewa Sangiang Ismaya
Ia benar-benar nyata dalam maya
Antara ada dan tiada

Menurut riwayat, ia pernah singgah sebagai pejabat
Di Desa Klampis Ireng, bergelar Ki Lurah Badranaya
Se-luruh rakyatnya hidup rukun dan makmur
“gemah ripah loh jinawi apanjang apunjung
ijo royo-royo kang sarwa tinandur
tata titi tentrem kerta raharja...”

--------------------------------------------------------

Lalu pandangku kembali ke Ayodya.

Apakah di sana ada suatu wilayah seperti wilayah yang dipimpin Ki Lurah ?
Kaki Semar Badranaya, hya Sangiang Ismaya,
hya Kyai Ismarun, hya Simbah Semangun ?

Aku Hanoman,
pemuda ‘anom’ yang belum sempurna.
Separuh kera, separuh dewa.
Belum tuntas metamorfosa menjadi manusia.
Kutulis surat ini untukmu Duh, Sri Rama,
manusia paripurna yang bertahta di Ayodya,
tuan dan sahabat garuda
kekasih segala cinta Shinta
guru dan pengayom rakyatnya

Siapa bertelinga hendaknya ia mendengar,

Bahwa di negeri Alengka yang kupijak,
kurasakan siang betapa panas dan malam begitu dingin.
Sawah-sawah hilang sudah,
berganti vila-vila, resort, dan hotel mewah
Anak-anak masa depan tanpa tanah, tanpa rumah
tanpa sekolah tanpa arah
Senyum ramah hanya mau singgah
bila kita mampu memberi 'sedekah'
di hotel-hotel, restoran, mall, kelab malam
Bar dan Bank
Banyak sedekah salah alamat
Menggunung di lumbung konglomerat
membariskan jiwa-jiwa penghianat
Bahkan di rumah bordil, tiada senyum kudapat
hanya bau laknat melarat, menyengat
Alengka kini bagai sorga yang pecah
menjadi keping-keping neraka
udaranya sesak penuh angkara
keprihatinan mengangkasa
Dewa-dewa telah takluk pada si Dasamuka
Sang Rahwana yang digdaya
bisa merubah-ubah wujud dan rupa
Pesonanya memikat bala seberang manca
untuk membangun istana-istana
dalam kerajaannya
Desa kala patra
kalah sakti kalah puaka

Duh Rama, apakah akan ada dari Ayodya sepasukan malaikat
atau ‘perewangan’ untuk membebaskan dewa-dewa Alengka ?
Akankah datang seorang kesatria yang sanggup mengalahkan
Rahwana sang angkara durjana ?

Aku Hanoman,
bertanya dalam risau dan ragu yang mendalam
Pada hati yang terbakar
panas melebihi sejuta angkara segala durjana
Kurangkum neraka segala masa dari semua dunia
berpadu dalam jiwa membara
Siap membakar malam
menabuh teriakan perang

Membebaskan mereka,
membebaskan cinta Shinta
yang terpenjara
dalam jeruji-jeruji prostitusi
Membebaskan diriku yang tersekap
dalam kutuk tubuh laknat,
separuh kera separuh dewa.
Aku inginkan transformasi sejati
menjadi manusia seutuhnya
dalam titik kesetimbangan abadi
kepada garis hakiki yang harmoni,
pembebasan diri menuju manusia sempurna
Jika evolusi gagal menjadi
maka kuinginkan satu kata sakti:
"Revolusi !"

Kutuliskan semua dalam riwayat singkat
sebagai selayang surat
Salam hangat dan jabat erat
Kepadamu dan kerabat,
kawan serta sahabat

Siapa bertelinga hendaknya ia mendengar…

“Salamku untuk Ayodya !”


-----------------------

Bali, Mei 2009




Semar Kembar (watercolour,marker on paper,Maharshi,01)

1 comment:

abmi handayani said...

berkali kali kubaca, aku suka sekali semar kembar di alengka dan salamku untuk ayodya ini. salamku untukmu, lintangnabi.