Thursday, December 24, 2009

Sepenggal Sorga di Beranda

Hampir senja, ketika sampai di beranda
tertawan ku di pinggir teduhnya
nyawang langit yang masih pesona
bulan tlah terbang mengawang
77 derajat di timur pandang

Di barat, matahari mulai membuncah merah
Barangkali saja ia tengah membakarmu
di pulau seberang pulau yang kausebut; sorga.
Yang kini belum sempat juga kusinggahi
meski kau tlah mengundangku berkali

Ahh…setidaknya di sini,
langit masih menyisakan warna birunya
ditingkahi 99 layang-layang
yang diulukkan dari tanah lapang
dan tawa bocah-bocah di sawah
yang menjelang hilang dilahap pialang

Setidaknya di sini,
langit masih mengisahkan dongeng senjanya
sebelum bocah-bocah itu kehilangan sorganya
Sebelum anak-anak petani itu merengek pada ibunya
yang tak sanggup beli karcis masuk taman bermain
yang tumbuh di atas bekas sawah miliknya

Setidaknya angin masih ramah bersiut,
menarikan layang-layang mereka
Canda ria bersahutan dengan tawa
bahagia yang melegakan telinga

Awan-awan sirrus dan stratus betapa halus
melembut menyeka mataku yang meradang
seharian di depan layar neraka sang durjana
yang setiap hari mengirimi sihir dan guna-guna;
“Kau harus sabar dan tetap bekerja,
agar tak lagi menggelandang dalam ketidak jelasan.
Tolonglah dirimu sendiri, sebelum kau tolong orang lain.
Tak sepatutnya kembali meminta-minta.”

Kulayangkan tanya pada batinku sendiri,
dalam bisik yang rahasia;
“Tahu apa dia tentang kehendakNya?
Tahu apa dia tentang rencana kita?
Rahasia kita?
Tahu apa dia tentang yang dia omongkan?
Tahu apa dia tentang tolong menolong?
Bantu binantu?
Toh dia tahunya hanya memperkuda
dan menumpuk-numpuk untung saja.
Layar celaka ini harusnya sudah dibuang
di gudang barang-barang terkutuk.”


Lalu muncul lagi dari dalam keburaman
layar kotak celaka itu sesosok tambun
tampang Yahudi tipikal
dengan kumis dan brewok lebat
rambut memutih gondrong kelabu
Mulutnya komat-kamit
menyerukan mantra-mantra kuna;
“Tabah dan teguhlah! Kau harus tetap bekerja.
Dengan begitu, kau kan sepenuhnya jadi ummatku.
Ummatku terpilih, kaum pekerja, buruh yang tangguh.
Sang proletar yang sanggup menyambung seruanku;
Wahai kaum pekerja! Kaum buruh di seluruh dunia!
Bersatulah!”


Lalu mendadak lenyap
Senyap meninggalkan geli yang sangat

“Hahahahaha rupanya dia mengigau!
Puluhan tahun tertidur dan tiba-tiba tergugah,
tak sadar dunia telah berubah
Wahai batinku, kau masih ingat Ashabul Kahfi?
Ya, begitulah si doi, manusia lampau di era baru.
Lucu.
Toh mbah brewok itu juga tak peduli
kalau sampai kini, kita bahkan belum kuasa
atas alat produksi.
Doi malah enak-enakan tidur di kuburan.”


Oh langit, suguhan kisahmu sungguh indah
Biru dan merah berpadu singgah,
bercengkrama di atap rumah.
Luruh penuh merambang mata
kala senja tiba di beranda

Oh bumi, berapa lama lagi kusinggahi
beranda kata dan peristiwa ini
yang nyata dan sandiwara tiada beda
lebur lembayung dalam fana
Senjakala

Oh awan, oh angin,
damaikanlah mataku yang berpelangi
kepada bening kembali
seperti mata bayi

Oh bulan,
Oh malam yang menjelang datang
Bawalah aku pulang
kepada diri sendiri

Oh layang-layang berlampion terang
yang masih bertahan terbang
berkedipan dengan bintang-bintang
Sampaikan salamku ke sorga seberang;
Tak perlu menantiku, aku pasti kan pulang

Sepenggal sorga di beranda,
suatu saat nanti pun kan jengah
mendengar keluh kesah
Sorga ini hanya sementara singgah
membakar bertumpuk kata kutuk,
bertandan makian dan hujatan

Bila saatnya tiba,
ia pun kan berlalu jua.
Meninggalkan api panas menyala,
menghanguskan segala sia-sia
Dan aku, dimana aku kala semua tiba?
Sementara sorga yang terjanji
mulai tergenapi

Duhai impian, seretlah aku pulang
ke dalam batin terdalam,
tempatku berdiam.

------------------------

Kerobokan, Bali, Juni 2009

No comments: